Laman

Selasa, 03 Agustus 2010

Kopi Aroma, Pertahankan Cara Tradisional Untuk Cita Rasa



Foto dan Teks oleh: Handika Rizki R.


“Permisi pak, kalau pabrik kopi Aroma yang ada di Jalan Banceuy ini ada di sebelah mana ya?”, tanyaku, dengan gelengan kepalanya, seorang bapak tersebut menjawab, wah nggak tahu tuh mas. Belum banyak memang masyarakat luas, khususnya masyarakat Bandung yang mengetahui pabrik kopi ini karena penampilan gedungnya yang terlihat kusam dan tua, alat-alatnya pun masih menggunakan mesin-mesin tua tahun 1930-an yang sangat tradisional, diantaranya memakai kayu sebagai bahan bakar. Berbeda dengan pabrik kopi pada umumnya, kopi yang diproduksi terlebih dahulu melewati proses penyimpanan selama 5 sampai 8 tahun, waktu yang cukup lama bukan?. Pemilik pabrik kopi Aroma, Widya Pratama mengatakan, hal ini dilakukan untuk menghilangkan kadar asamnya dan menajamkan aroma kopi.“Dengan begitu, kami tak perlu menambahkan bahan kimia dan berbagai essens. Hal inilah yang membedakannya dengan kopi yang ada di pasaran. Kadar asam dan bahan kimia kopi Aroma lebih rendah, sehingga tak memicu kita untuk buang air kecil setelah meminumnya. Inilah bedanya dengan kopi yang beredar di pasaran saat ini. Diminum saat pagi pun aman, tidak akan menimbulkan sakit perut atau sembelit,” ujar Widya yang juga menjadi Dosen di fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung. Kopi Aroma menawarkan 2 jenis kopi, Arabika dan Robusta. Perbedaan keduanya terletak pada khasiatnya, jika Arabika beguna untuk merilekskan badan, sedangkan Robusta untuk meningkatkan vitalitas, membuat melek sepanjang malam dan terutama untuk meningkatkan gairah seks. Selain terdapat mesin-mesin, dalam ruang pemroses kopi juga terdapat tiga buah sepeda yang diletakkan diatas, widya beralasan, sepeda itu merupakan warisan dari ayah saya yang mendirikan pabrik ini pada 1930, dulu beliau membangun pabrik ini dengan menggunakan sepeda itu sebagai alat transportasi, sengaja saya letakkan diatas agar saya selalu ingat perjuangannya, sehingga selalu memotivasi saya.

Senin, 02 Agustus 2010

Memotret di Alam Bebas (Gunung Hutan)





Setelah sempat tidak aktif selama 2 bulan karena tidak ada ide baru, akhirnya blog Kaphac 32 aktif kembali dengan rubrik-rubrik baru, antara lain foto essay dan artikel fotografi.


Oleh: Handika Rizki R.
Dimanapun kita memotret, pasti memiliki kesulitan tersendiri. Salah satu hal yang cukup sulit adalah ketika kita memotret di alam bebas khususnya di daerah Gunung Hutan. Faktor medan yang berat dan cuaca, menjadi salah satu tantangan yang harus dilewati setiap fotografer. Belum lagi dengan bahan logistik dan berbagai macam peralatan lain yang harus dibawa. Karena kondisi tubuh mengalami kelelahan setelah berjalan cukup jauh dan membawa beban berat, sehingga saat kita ingin memotret, telah kehabisan tenaga dan akhirnya dapat berpengaruh pada teknis foto. Faktor ini juga yang membuat kita malas memotret, bahkan juga malas mengeluarkan kamera. Berikut adalah tips memotret di daerah gunung hutan,
1. Menyewa jasa angkut (Porter), salah satu cara menjaga tubuh kita agar tak mudah lelah adalah dengan menggunakan jasa porter, biaya per harinya beragam, dari Rp 100.000/hari hingga Rp. 200.000/hari, biasanya setiap porter membedakan tarif bagi wisatawan lokal dan wisatawan mancanegara.
2. Bawalah peralatan fotografi sesuai dengan kebutuhan, Jika kita membawa peralatan yang sekiranya tidak dibutuhkan, itu hanya menambah beban bawaan kita. Disinilah letak kejelian kita. Semakin sering kita memotret di alam bebas, semakin terlatih pula diri kita dalam memilih peralatan yang akan dibawa.
3. Menguasai tehnik petualangan alam bebas, selain menguasai teknik fotografi, kita juga harus mengerti teknik dasar gunung hutan, mulai dari perbekalan sampai persiapan fisik dan mental yang matang merupakan salah satu faktor yang terpenting.
4. Sabar dalam menunggu momen, Hal inilah yang menurut saya paling sulit, karena kita tidak akan dapat “membaca” alam, kapan akan turun hujan dan kapan akan panas, bisa saja, waktu kita akan memotret tiba-tiba hujan turun, dan pada saat kita istirahat, cuaca cerah. Maka, rajin-rajinlah bangun pagi dan menunggu momen yang tepat untuk memotret. Memang hal ini sangat membosankan, cobalah anda tunggu sambil mendengarkan mp3.
5. Jangan malas untuk mencari angle (sudut pandang), udara yang dingin atau panas membuat kita malas untuk berjalan sekedar untuk mencari angle yang baik, terkadang angle yang bagus ada di tempat yang tidak kita coba, Pernah saya memiliki kasus yang sama, pada saat saya memotret di Gunung Semeru, saya sangat malas untuk mencari angle, alhasil saya baru sadar dan menyesal saat saya melihat foto di sebuah majalah dengan tempat yang sama, namun angle-nya berbeda.
6. Memotret kehidupan masyarakat sekitar pegunungan. Memotret masyarakat setempat memiliki keunikan tersendiri karena biasanya masyarakat sekitar memiliki suatu adat istiadat yang belum pernah kita jumpai sebelumnya.
7. Jagalah peralatan anda baik-baik. Daerah pegunungan umumnya memiliki cuaca yang sangat ekstrim, maka jagalah peralatan fotografi anda, terutama kamera dan lensa yang dapat lembab karena cuaca yang dingin.